HUKUM DAGANG
Pengertian Hukum Dagang
Hukum dagang sejatinya adalah hukum perikatan yang timbul dari lapangan perusahaan. Istilah perdagangan memiliki akar kata dagang. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah dagang diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. Istilah dagang dipadankan dengan jual beli atau niaga.
Sebagai suatu konsep, dagang secara sederhana dapat diartikan sebagai perbuatan untuk membeli barang dari suatu tempat untuk menjualnya kembali di tempat lain atau membeli barang pada suatu saat dan kemudian menjualnya kembali pada saat lain dengan maksud untuk memperoleh kuntungan. Perdagangan berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan dagang (perihal dagang) atau jual beli atau perniagaan (daden van koophandel) sebagai pekerjaan sehari-hari.
Ada isitlah lain yang perlu untuk dijajarkan dalam pemahaman awal mengenai hukum dagang, yaitu pengertian perusahaan dan pengertian perniagaan. Pengertian perniagaan dapat ditemukan dalam kitab undang-undang hukum dagang sementara istilah perusahaan tidak. Pengertian perbuatan perniagaan diatur dalam pasal 2 – 5 kitab undang-undang hukum dagang.
Dalam pasal-pasal tersebut, perbuatan perniagaan diartikan sebagai perbuatan membeli barang untuk dijual lagi dan beberapa perbuatan lain yang dimasukkan dalam golongan perbuatan perniagaan tersebut. Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa pengertian perbuatan perniagaan terbatas pada ketentuan sebagaimana termaktub dalam pasal 2- 5 kitab undang-undang hukum dagang sementara pengertian perusahaan tidak ditemukan dalam kitab undang-undang hukum dagang.
Hubungan Hukum Dagang dan Hukum Perdata
Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai pengertian hukum dagang, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu mengenai hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perseorangan yang lain dalam segala usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu bidang dari hukum perdata adalah hukum perikatan. Perikatan adalah suatu perbuatan hukum yang terletak dalam bidang hukum harta kekayaan, antara dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri, yang menyebabkan pihak yang satu mempunyai hak atas sesuatu prestasi terhadap pihak yang lain, sementara pihak yang lain berkewajiban memenuhi prestasi tersebut.
Apabila dirunut, perikatan dapat terjadi dari perjanjian atau undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Hukum dagang sejatinya terletak dalam hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatan dalam ruang lingkup ini ada yang bersumber dari perjanjian dan dapat juga bersumber dari undang-undang.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Hukum perdata diatur dalam KUH Perdata dan Hukum Dagang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
ini sekaligus menunjukkan bagaimana hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perdata merupakan hukum umum (lex generalis) dan hukum dagang merupakan hukum khusus (lex specialis). Dengan diketahuinya sifat dari kedua kelompok hukum tersebut, maka dapat disimpulkan keterhubungannya sebagai lex specialis derogat lex generalis, artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Hubungan Pengusaha dan Pembantunya
Seorang pengusaha, tidak mungkin melakukan usahanya sendiri apalagi perusahaan yang dipimpinnya termasuk skala besar. Oleh karena itu, dibutuhkan bantuan orang atau pihak lain untuk membantu melakukan kegiatan-kegiatan usaha tersebut.
Pembantu-pembantu dalam perusahaan dapat dibagi menjadi dua fungsi, yaitu :
1. Pembantu di dalam perusahaan
Yaitu mempunyai hubungan yang bersifat sub ordinasi ( hubungan atas dan bawah sehingga berlaku suatu perjanjian perburuhan, misalnya pemimpin perusahaan, pemegang prokurasi, pemimpin filial, pedagang keliling, dan pegawai perusahaan ).
2. Pembantu di luar perusahaan
Yaitu mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi ( hubungan yang sejajajr, sehingga berlaku suatu perjanjian pemberian kuasa dan penerima kuasa antara pemberi kuasa dan penerima kuasa yang akan memperoleh upah, seperti yang diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata, misalnya pengacara, notaris, agen perusahaan, makelar dan komisioner ).
Dengan demikian, hubungan hukum antara mereka masuk dalam perantara dalam perusahaan dapat bersifat :
1.Hubungan perburuhan ( Pasal 1601 a KUH Perdata )
2.Hubungan pemberian kuasa ( Pasal 1792 KUH Perdata )
3.Hubungan hukum pelayanan berkala ( Pasal 1601 KUH Perdata )
Pengusaha dan kewajibannya
I. HAK PENGUSAHA
1. Berhak sepenuhnya atas hasil kerja pekerja.
2. Berhak atas ditaatinya aturan kerja oleh pekerja, termasuk pemberian sanksi
3. Berhak atas perlakuan yang hormat dari pekerja
4. Berhak melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh pengusaha
II. KEWAJIBAN PENGUSAHA
1. Memberikan ijin kepada buruh untuk beristirahat, menjalankan kewajiban menurut agamanya
2. Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, kecuali ada ijin penyimpangan
3. Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan
4. Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan
5. Wajib membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari libur resmi
6.Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih
7. Wajib mengikut sertakan dalam program Jamsostek
Bentuk-bentuk Badan Usaha
1. Perusahaan Perseorangan
Perusahaan Perseorangan adalah bentuk usaha yang paling sederhana. Pemilik Perusahaan Perseorangan hanya satu orang dan pembentukannya tanpa izin serta tata cara yang rumit – misalnya membuka toko kelontong atau kedai makan. Biasanya Perusahaan Perseorangan dibuat oleh pengusaha yang bermodal kecil dengan sumber daya dan kuantitas produksi yang terbatas. Bentuk usaha jenis ini paling mudah didirikan, seperti juga pembubarannya yang mudah dilakukan – tidak memerlukan persetujuan pihak lain karena pemiliknya hanya satu orang. Dalam Perusahaan Perseorangan tanggung jawab pemilik tidak terbatas, sehingga segala hutang yang timbul pelunasannya ditanggung oleh pemilik sampai pada harta kekayaan pribadi – seperti juga seluruh keuntungannya yang dapat dinikmati sendiri oleh pemilik usaha.
2. Persekutuan Perdata
Jika Anda merasa bisnis perseorangan Anda telah berkembang dan perlu mengembangkannya lebih lanjut, maka saatnya Anda mencari partner bisnis baru untuk meningkatkan Perusahaan Perseorangan itu menjadi Persekutuan Perdata. Persekutuan Perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Menurut pasal 1618 KUH Perdata, Persekutuan Perdata merupakan “suatu perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.” Menurut pasal tersebut syarat Persekutuan Perdata adalah adanya pemasukan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng), dan ada pula pembagian keuntungan dari hasil pemasukan tersebut. Suatu Persekutuan Perdata dibuat berdasarkan perjanjian oleh para pihak yang mendirikannya. Dalam perjanjian itu para pihak berjanji memausarsekutuan, dan hasil dari usarsekutuan, dan hasil dari usaha yang dijalankan (keuntungan) kemudian dibagi diantara para pihak sesuai perjanjian. Perjanjian Persekutuan Perdata dapat dibuat secara sederhana, tidak memerlukan proses dan tata cara yang rumit serta dapat dibuat berdasarkan akta dibawah tangan – perjanjian Persekutuan Perdata bahkan dapat dibuat secara lisan.
3. Persekutuan Firma
Persekutuan dengan Firma merupakan Persekutuan Perdata dalam bentuk yang lebih khusus, yaitu didirikan untuk menjalankan perusahaan, menggunakan nama bersama, dan tanggung jawab para pemilik Firma – yang biasa disebut “sekutu” – bersifat tanggung renteng. Karena Firma merupakan suatu perjanjian, maka para pemilik Firma – para sekutu Firma – harus terdiri lebih dari satu orang. Dalam Firma masing-masing sekutu berperan secara aktif menjalankan perusahaan, dan dalam rangka menjalankan perusahaan tersebut mereka bertanggung jawab secara tanggung rentang, yaitu hutang yang dibuat oleh salah satu sekutu akan mengikat sekutu yang lain dan demikian sebaliknya – pelunasan hutang Firma yang dilakukan oleh salah satu sekutu membebaskan hutang yang dibuat oleh sekutu yang lain. Tanggung jawab para sekutu tidak hanya sebatas modal yang disetorkan kedalam Firma, tapi juga meliputi seluruh harta kekayaan pribadi para sekutu. Jika misalnya kekayaan Firma tidak cukup untuk melunasi hutang Firma, maka pelunasan hutang itu harus dilakukan dari harta kekayaan pribadi para sekutu.
Karena pada dasarnya Firma merupakan bentuk Persektuan Perdata, maka pembentukan Firma harus dilakukan dengan perjanjian. Menurut pasal 22 KUHD – Kitab Undang-undang Hukum Dagang – perjanjian Firma harus berbentuk akta otentik – akta notaris. Meski harus dengan akta otentik, namun ketiadaan akta semacam itu tidak dapat menjadi alasan untuk merugikan pihak ketiga. Dengan demikian suatu Firma dapat dibuat dengan akta dibawah tangan – bahkan perjanjian lisan – namun dalam proses pembuktian di pengadilan misalnya, ketiadaan akta otentik tersebut tidak dapat digunakan oleh para sekutu sebagai alasan untuk mengingkari eksistensi Firma. Setelah akta pendirian Firma dibuat, selanjutnya akta tersebut wajib didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam daerah hukum di mana Firma itu berdomisili.
4. Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschaap/CV)
Pada prinsipnya Persekutuan Komanditer adalah Persekutuan Firma – perkembangan lebih lanjut dari Persekutuan Firma. Jika Firma hanya terdiri dari para sekutu yang secara aktif menjalankan perusahaan, maka dalam Komanditer terdapat sekutu pasif yang hanya memasukan modal. Jika sebuah Firma membutuhkan tambahan modal, misalnya, Firma tersebut dapat memasukan pihak lain sebagai sekutu baru yang hanya memasukan modalnya tapi tidak terlibat secara aktif dalam menjalankan perusahaan. Dalam hal ini, sekutu yang baru masuk tersebut merupakan sekutu pasif, sedangkan sekutu yang menjalankan perusahaan adalah sekutu aktif. Jika sekutu aktif menjalankan perusahaan dan menanggung kerugian sampai harta kekayaan pribadi, maka dalam Komanditer tanggung jawab sekutu pasif terbatas hanya pada modal yang dimasukannya kedalam perusahaan – tidak meliputi harta kekayaan pribadi sekutu pasif.
5. Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Sebagai badan hukum, sebuah PT dianggap layaknya orang-perorangan secara individu yang dapat melakukan perbuatan hukum sendiri, memiliki harta kekayaan sendiri dan dapat menuntut serta dituntut di muka pengadilan. Untuk menjadikannya sebagai badan hukum PT, sebuah perusahaan harus mengikuti tata cara pembuatan, pendaftaran dan pengumuman sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
Sebagai persekutuan modal, sebuah PT didirikan oleh para pendiri yang masing-masing memasukan modal berdasarkan perjanjian. Modal tersebut terbagi dalam saham yang masing-masing saham mempunyai nilai yang secara keseluruhan menjadi modal perusahaan. Tanggung jawab para pendiri PT adalah sebatas modal yang disetorkan ke dalam PT dan tidak meliputi harta kekayaan pribadi mereka. Menurut UU PT, Modal PT terbagi atas Modal Dasar, Modal Ditempatkan dan Modal Disetor. Modal Dasar adalah modal keseluruhan PT sebagaimana yang dinyatakan dalam Akta Pendiriannya, yaitu nilai yang menunjukkan besarnya nilai perusahaan. Modal ditempatkan adalah bagian Modal Dasar yang wajib dipenuhi/disetor oleh masing-masing para pemegang saham kedalam perusahaan, sedangkan Modal Disetor adalah Modal Ditempatkan yang secara nyata telah disetorkan.
Untuk menjalankan perusahaan, sebuah PT dilengkapi organ-organ yang memiliki fungsi masing-masing, yaitu: Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas, Rapat Umum Pemegang Saham adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas-batas yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Secara umum, tugas RUPS adalah menentukan kebijakan perusahaan. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan, sehingga Direksi dapat mewakili perseroan itu baik di dalam maupun di luar pengadilan. Tugas Dewan Komisaris adalah melakukan pengawasan terhadap perseroan, baik secara umum maupun secara khusus, termasuk memberi nasihat kepada Direksi. (Legal Akses).
6. Koperasi
Koperasi berbentuk Badan Hukum sesuai dehukum koperasi yang merupakan ta967 ialah: “Organisasi Ekonomi Rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama, berdasarkan asas kekeluargaan.
Kinerja koprasi khusus mengenai perhimpunan, koperasi harus bekerja berdasarkan ketentuan undang-undang umum mengenai organisasi usaha (perseorangan, persekutuan, dsb.) serta hukum dagang dan hukum pajak. Organisasi koperasi yang khas dari suatu organisasi harus diketahui dengan menetapkan anggaran dasar yang khusus.
Secara umum, Variabel kinerja koperasi yang di ukur untuk melihat perkembangan atau pertumbuhan (growth) koperasi di Indonesia terdiri dari kelembagaan (jumlah koperasi per provinsi, jumlah koperasi per jenis/kelompok koperasi, jumlah koperasi aktif dan nonaktif).Keanggotaan, volume usaha, permodalan, asset, dan sisa hasil usaha .Variabel-variabel tersebut pada dasarnya belumlah dapat mencerminkan secara tepat untuk dipakai melihat peranan pangsa (share) koperasi terhadap pembangunan ekonomi nasional.Demikian pula dampak dari koperasi (cooperative effect) terhadap peningkatan kesejahteraan anggota atau masyarakat belum tercermin dari variabel-variabel yang di sajikan. Dengan demikian variabel kinerja koperasi cenderung hanya dijadikan sebagai salah satu alat untuk melihat perkembangan koperasi sebagai badan usaha.
7. Yayasan
Yayasan adalah badan hukum yang tidak mempunyai anggota yang dikelola oleh pengurus dan didirikan untuk tujuan sosial. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, yayasan merupakan suatu badan hukum dan untuk dapat menjadi badan hukum wajib memenuhi kriteria dan tersyaratan tertentu, yakni:
1. Yayasan terdiri atas kekayaan yang terpisahkan.
2. Kekayaan yayasan diperuntukkan untuk mencapai tujuan yayasan.
3. Yayasan mempunyai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
4. Yayasan tidak mempunyai anggota.
Yang termasuk sebagai organ yayasan adalah:
a. Pembina, yaitu organ yayasan yang mempunyai kewenangan dan memegang kekuasaan tertinggi.
b. Pengurus, yaitu organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan. Seorang pengurus harus mampu melakukan perbuatan hukum dan diangkat oleh pembina berdasarkan keputusan rapat pembina.
c. Pengawas, yaitu organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan.
8. Badan Usaha Milik Negara
Badan usaha milik negara adalah persekutuan yang berbadan hukum yang didirikan dan dimiliki negara. Perusahaan negara adalah daban hukum dengan kekayaan dan modalnya merupakan kekayaan sendiri dan tidak terbagi dalam saha-saham.
Jadi, badan usaha milik negara dapat berupa:
1. Perusahaan jawatan (perjan), yaitu BUMN yang seluruh modalnya termasuk dalam anggaran belanja negara yang menjadi hak dari departemen yang bersangkutan.
2. Perusahaan umum (perum), ya, Tahoma, Helvetica, FreeSans, similiki negara dan tidak terbagi atas saham.
Perusahaan perseroan (persero), yaitu BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam sahan yang seluruh atau sebagian paling sedikit 51% sahamnya dimiliki.
Referensi:
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/pengusaha-dan-kewajibannya/
http://haris14.wordpress.com/
https://p4hrul.wordpress.com/2012/05/03/hukum-dagang/
Jumat, 29 April 2016
Jumat, 22 April 2016
Tugas Softskill 2EB24 HUKUM PERJANJIAN
Nama : Salsabila Asyifa
Kelas : 2EB24
Npm : 29214956
Hukum Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4. Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
Asas-asas perjanjian
Asas-asas perjanjian diatur dalam KUHPerdata, yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat perhatian dalam membuat perjanjian: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).
2. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian – bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum – secara pasti memiliki perlindungan hukum.
3. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus tertulis – contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.
4. Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder trouw)
Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
5. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Berakhirnya Perjanjian
1. Sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
2. Atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjiantersendiri.
3. Akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.
Kesimpulan
Dari apa yang di terangkan diatas dapat kita lihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang di kehendaki oleh dua orang pihak yang membuat suatu perjanjian yang mereka buat merupakan undang-undang bagi mereka untuk dilaksanakan.
Referensi
http://putriagustia.blogspot.co.id/2012/05/pengertian-hukum-perjanjian.html
http://andirahmaa.blogspot.co.id/2016/04/hukum-perjanjian.html
Kelas : 2EB24
Npm : 29214956
Hukum Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4. Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
Asas-asas perjanjian
Asas-asas perjanjian diatur dalam KUHPerdata, yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat perhatian dalam membuat perjanjian: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).
2. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian – bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum – secara pasti memiliki perlindungan hukum.
3. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus tertulis – contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.
4. Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder trouw)
Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
5. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Berakhirnya Perjanjian
1. Sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
2. Atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjiantersendiri.
3. Akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.
Kesimpulan
Dari apa yang di terangkan diatas dapat kita lihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang di kehendaki oleh dua orang pihak yang membuat suatu perjanjian yang mereka buat merupakan undang-undang bagi mereka untuk dilaksanakan.
Referensi
http://putriagustia.blogspot.co.id/2012/05/pengertian-hukum-perjanjian.html
http://andirahmaa.blogspot.co.id/2016/04/hukum-perjanjian.html
Jumat, 15 April 2016
Tugas softskill 2eb24 HUKUM PERIKATAN
Nama: Salsabila Asyifa
Kelas : 2eb24
Npm. : 29214956
HUKUM PERIKATAN
A. Pengertian Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah adalah
suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau
lebih di mana pihak yang satu berhak
atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau
peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan
ini dapat diketahui bahwa perikatan itu
terdapat dalam bidang hukum harta
kekayaan (law of property), juga
terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum
waris (law of succession) serta dalam
bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan
Hukum Perdata, pengertian perikatan
adalah suatu hubungan dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau
lebih dimana pihak yang satu berhak
atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah
memberikan pengertian mengenai
perikatan. Pitlo memberikan pengertian
perikatan yaitu suatu hubungan hukum
yang bersifat harta kekayaan antara
dua orang atau lebih, atas dasar mana
pihak yang satu berhak (kreditur) dan
pihak lain berkewajiban (debitur) atas
suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada
perikatan untuk berbuat sesuatu dan
untuk tidak berbuat sesuatu. Yang
dimaksud dengan perikatan untuk
berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal,
tidak melanggar undang-undang dan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan
perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
yaitu untuk tidak melakukan perbuatan
tertentu yang telah disepakati dalam
perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk
tidak mendirikan bangunan yang
sangat tinggi sehingga menutupi sinar
matahari atau sebuah perjanjian agar
memotong rambut tidak sampai botak
B. Dasar hukum perikatan
Sumber-sumber hukum
perikatan yang ada di Indonesia adalah
perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat
dibagi lagi menjadi undang-undang
melulu dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Sumber undang-
undang dan perbuatan manusia dibagi
lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan
KUH Perdata terdapat tiga sumber
adalah sebagai berikut:
1. Perikatan yang timbul dari
persetujuan (perjanjian)
2. Perikatan yang timbul dari
undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan
perjanjian, tetapi terjadi karena
perbuatan melanggar hukum
( onrechtmatige daad ) dan perwakilan
sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-
undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH
Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-
undang. Perikatan ditujukan untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH
Perdata ) : Suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dimana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap
satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH
Perdata ) : Perikatan yang lahir karena
undang-undang timbul dari undang-
undang atau dari undang-undang
sebagai akibat perbuatan orang.
C. Azas-azas hukum perikatan
1. ASAS KONSENSUALISME
Asas konsnsualisme dapat disimpulkan
dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt.
Pasal 1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat sarat :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya
(2) Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian
(3) suatu hal tertentu
(4) suatu sebab yang halal.
Pengertian kesepakatan dilukiskan
dengan sebagai pernyataan kehendak
bebas yang disetujui antara pihak-pihak
ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
2. ASAS PACTA SUNT SERVANDA
Asas pacta sun servanda berkaitan
dengan akibat suatu perjanjian. Pasal
1338 ayat (1) KUHPdt:
· Perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang….”
· Para pihak harus menghormati
perjanjian dan melaksanakannya
karena perjanjian itu merupakan
kehendak bebas para pihakASAS-ASAS
HUKUM PERIKATAN
3. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undangundang bagi mereka yang
membuatnya”
Ketentuan tersebut memberikan
kebebasan parapihak untuk :
· Membuat atau tidak membuat
perjanjian;
· Mengadakan perjanjian dengan
siapapun;
· Menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan, dan persyaratannya;
· Menentukan bentuk perjanjian,
yaitu tertulis atau lisan.
Di samping ketiga asas utama tersebut,
masih terdapat beberapa asas hukum
perikatan nasional, yaitu :
1. Asas kepercayaan;
2. Asas persamaan hukum;
3. Asas keseimbangan;
4. Asas kepastian hukum;
5. Asas moral;
6. Asas kepatutan;
7. Asas kebiasaan;
8. Asas perlindungan;
D. Hapusnya Perikatan
Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur
secara khusus apa yang dimaksud
berakhirnya perikatan, tetapi yang
diatur dalam Bab IV buku III BW hanya
hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara
tegas menyebutkan sepuluh cara
hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut
adalah:
· Pembayaran.
· Penawaran pembayaran tunai
diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan (konsignasi).
· Pembaharuan utang (novasi).
· Perjumpaan utang atau
kompensasi.
· Percampuran utang (konfusio).
· Pembebasan utang.
· Musnahnya barang terutang.
· Batal/ pembatalan.
· Berlakunya suatu syarat batal.
· Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait dengan Pasal 1231
perikatan yang lahir karena undang-
undang dan perikatan yang lahir
karena perjanjian. Maka berakhirnya
perikatan juga demikian. Ada perikatan
yang berakhir karena perjanjian seperti
pembayaran, novasi, kompensasi,
percampuran utang, pembebasan utang,
pembatalan dan berlakunya suatu
syarat batal. Sedangkan berakhirnya
perikatan karena undang–undang
diantaranya; konsignasi, musnahnya
barang terutang dan daluarsa.
Agar berakhirnya perikatan
tersebut dapat terurai jelas maka perlu
dikemukakan beberapa item yang
penting, perihal defenisi dan
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya
sehinga suatu perikatan/ kontrak
dikatakan berakhir:
v Pembayaran
Berakhirnya kontrak karena
pembayaran dijabarkan lebih lanjut
dalam Pasal 1382 BW sampai dengan
Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran
dapat ditinjau secara sempit dan secara
yuridis tekhnis.
Pembayaran dalam arti sempit
adalah pelunasan utang oleh debitur
kepada kreditur, pembayaran seperti
ini dilakukan dalam bentuk uang atau
barang. Sedangkan pengertian
pembayaran dalam arti yuridis tidak
hanya dalam bentuk uang, tetapi juga
dalam bentuk jasa seperti jasa dokter,
tukang bedah, jasa tukang cukur atau
guru privat.
Suatu maslah yang sering
muncul dalam pembayaran adalah
masalah subrogasi. Subrogasi adalah
penggantian hak-hak siberpiutang
(kreditur) oleh seorang ketiga yang
membayar kepada siberpiutang itu.
Setelah utang dibayar, muncul seorang
kreditur yang baru menggantikan
kreditur yang lama. Jadi utang tersebut
hapus karena pembayaran tadi, tetapi
pada detik itu juga hidup lagi dengan
orang ketiga tersebut sebagai pengganti
dari kreditur yang lama.
v Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila
seorang kreditur menolak pembayaran
yang dilakukan oleh debitur, debitur
dapat melakukan penawaran
pembayaran tunai atas utangnya, dan
jika kreditur masih menolak, debitur
dapat menitipkan uang atau barangnya
di pengadilan.
v Novasi
Novasi diatur dalam Pasal 1413
Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah
persetujuan, dimana suatu perikatan
telah dibatalkan dan sekaligus suatu
perikatan lain harus dihidupkan, yang
ditempatkan di tempat yang asli. Ada
tiga macam jalan untuk melaksanakan
suatu novasi atau pembaharuan utang
yakni:
Apabila seorang yang berutang
membuat suatu perikatan utang baru
guna orang yang mengutangkannya,
yang menggantikan utang yang lama
yang dihapuskan karenanya. Novasi ini
disebut novasi objektif.
Apabila seorang berutang baru
ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh siberpiutang
dibebaskan dari perikatannya (ini
dinamakan novasi subjektif pasif).
Apabila sebagai akibat suatu
perjanjian baru, seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur
lama, terhadap siapa si berutang
dibebaskan dari perikatannya (novasi
subjektif aktif)
v Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan
utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d
Pasal 1435 BW. Yang dimaksud dengan
kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan
saling memperhitungkan utang yang
sudah dapat ditagih antara kreditur dan
debitur (vide: Pasal 1425 BW). Contoh:
A menyewakan rumah kepada si B
seharga RP 300.000 pertahun. B baru
membayar setengah tahun terhadap
rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan
tetapi pada bulan kedua A meminjam
uang kepada si B sebab ia butuh uang
untuk membayar SPP untuk anaknya
sebanyak Rp 150.000. maka yang
demikianlah antara si A dan si b terjadi
perjumpaan utang.
v Konfusio
Konfusio atau percampuran utang
diatur dalam Pasal 1436 BW s/d Pasal
1437 BW. Konfusio adalah
percampuran kedudukan sebagai orang
yang berutang dengan kedudukan
sebagai kreditur menjadi satu (vide:
Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam
suatu testamen ditunjuk sebagai waris
tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur
kawin dengan krediturnya dalam suatu
persatuan harta kawin.
Referensi:
https://
aramayudho.wordpress.com/2012/04/07
/dasar-hukum-perikatan/
http://
bobobpratiwi.blogspot.com/2013/04/
bab-4-azas-azas-hukum-perikatan.html
http://www.negarahukum.com/hukum/
hapusnya-perikatan.html
Kelas : 2eb24
Npm. : 29214956
HUKUM PERIKATAN
A. Pengertian Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah adalah
suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau
lebih di mana pihak yang satu berhak
atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau
peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan
ini dapat diketahui bahwa perikatan itu
terdapat dalam bidang hukum harta
kekayaan (law of property), juga
terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum
waris (law of succession) serta dalam
bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan
Hukum Perdata, pengertian perikatan
adalah suatu hubungan dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau
lebih dimana pihak yang satu berhak
atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah
memberikan pengertian mengenai
perikatan. Pitlo memberikan pengertian
perikatan yaitu suatu hubungan hukum
yang bersifat harta kekayaan antara
dua orang atau lebih, atas dasar mana
pihak yang satu berhak (kreditur) dan
pihak lain berkewajiban (debitur) atas
suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada
perikatan untuk berbuat sesuatu dan
untuk tidak berbuat sesuatu. Yang
dimaksud dengan perikatan untuk
berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal,
tidak melanggar undang-undang dan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan
perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
yaitu untuk tidak melakukan perbuatan
tertentu yang telah disepakati dalam
perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk
tidak mendirikan bangunan yang
sangat tinggi sehingga menutupi sinar
matahari atau sebuah perjanjian agar
memotong rambut tidak sampai botak
B. Dasar hukum perikatan
Sumber-sumber hukum
perikatan yang ada di Indonesia adalah
perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat
dibagi lagi menjadi undang-undang
melulu dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Sumber undang-
undang dan perbuatan manusia dibagi
lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan
KUH Perdata terdapat tiga sumber
adalah sebagai berikut:
1. Perikatan yang timbul dari
persetujuan (perjanjian)
2. Perikatan yang timbul dari
undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan
perjanjian, tetapi terjadi karena
perbuatan melanggar hukum
( onrechtmatige daad ) dan perwakilan
sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-
undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH
Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-
undang. Perikatan ditujukan untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH
Perdata ) : Suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dimana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap
satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH
Perdata ) : Perikatan yang lahir karena
undang-undang timbul dari undang-
undang atau dari undang-undang
sebagai akibat perbuatan orang.
C. Azas-azas hukum perikatan
1. ASAS KONSENSUALISME
Asas konsnsualisme dapat disimpulkan
dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt.
Pasal 1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat sarat :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya
(2) Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian
(3) suatu hal tertentu
(4) suatu sebab yang halal.
Pengertian kesepakatan dilukiskan
dengan sebagai pernyataan kehendak
bebas yang disetujui antara pihak-pihak
ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
2. ASAS PACTA SUNT SERVANDA
Asas pacta sun servanda berkaitan
dengan akibat suatu perjanjian. Pasal
1338 ayat (1) KUHPdt:
· Perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang….”
· Para pihak harus menghormati
perjanjian dan melaksanakannya
karena perjanjian itu merupakan
kehendak bebas para pihakASAS-ASAS
HUKUM PERIKATAN
3. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undangundang bagi mereka yang
membuatnya”
Ketentuan tersebut memberikan
kebebasan parapihak untuk :
· Membuat atau tidak membuat
perjanjian;
· Mengadakan perjanjian dengan
siapapun;
· Menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan, dan persyaratannya;
· Menentukan bentuk perjanjian,
yaitu tertulis atau lisan.
Di samping ketiga asas utama tersebut,
masih terdapat beberapa asas hukum
perikatan nasional, yaitu :
1. Asas kepercayaan;
2. Asas persamaan hukum;
3. Asas keseimbangan;
4. Asas kepastian hukum;
5. Asas moral;
6. Asas kepatutan;
7. Asas kebiasaan;
8. Asas perlindungan;
D. Hapusnya Perikatan
Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur
secara khusus apa yang dimaksud
berakhirnya perikatan, tetapi yang
diatur dalam Bab IV buku III BW hanya
hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara
tegas menyebutkan sepuluh cara
hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut
adalah:
· Pembayaran.
· Penawaran pembayaran tunai
diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan (konsignasi).
· Pembaharuan utang (novasi).
· Perjumpaan utang atau
kompensasi.
· Percampuran utang (konfusio).
· Pembebasan utang.
· Musnahnya barang terutang.
· Batal/ pembatalan.
· Berlakunya suatu syarat batal.
· Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait dengan Pasal 1231
perikatan yang lahir karena undang-
undang dan perikatan yang lahir
karena perjanjian. Maka berakhirnya
perikatan juga demikian. Ada perikatan
yang berakhir karena perjanjian seperti
pembayaran, novasi, kompensasi,
percampuran utang, pembebasan utang,
pembatalan dan berlakunya suatu
syarat batal. Sedangkan berakhirnya
perikatan karena undang–undang
diantaranya; konsignasi, musnahnya
barang terutang dan daluarsa.
Agar berakhirnya perikatan
tersebut dapat terurai jelas maka perlu
dikemukakan beberapa item yang
penting, perihal defenisi dan
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya
sehinga suatu perikatan/ kontrak
dikatakan berakhir:
v Pembayaran
Berakhirnya kontrak karena
pembayaran dijabarkan lebih lanjut
dalam Pasal 1382 BW sampai dengan
Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran
dapat ditinjau secara sempit dan secara
yuridis tekhnis.
Pembayaran dalam arti sempit
adalah pelunasan utang oleh debitur
kepada kreditur, pembayaran seperti
ini dilakukan dalam bentuk uang atau
barang. Sedangkan pengertian
pembayaran dalam arti yuridis tidak
hanya dalam bentuk uang, tetapi juga
dalam bentuk jasa seperti jasa dokter,
tukang bedah, jasa tukang cukur atau
guru privat.
Suatu maslah yang sering
muncul dalam pembayaran adalah
masalah subrogasi. Subrogasi adalah
penggantian hak-hak siberpiutang
(kreditur) oleh seorang ketiga yang
membayar kepada siberpiutang itu.
Setelah utang dibayar, muncul seorang
kreditur yang baru menggantikan
kreditur yang lama. Jadi utang tersebut
hapus karena pembayaran tadi, tetapi
pada detik itu juga hidup lagi dengan
orang ketiga tersebut sebagai pengganti
dari kreditur yang lama.
v Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila
seorang kreditur menolak pembayaran
yang dilakukan oleh debitur, debitur
dapat melakukan penawaran
pembayaran tunai atas utangnya, dan
jika kreditur masih menolak, debitur
dapat menitipkan uang atau barangnya
di pengadilan.
v Novasi
Novasi diatur dalam Pasal 1413
Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah
persetujuan, dimana suatu perikatan
telah dibatalkan dan sekaligus suatu
perikatan lain harus dihidupkan, yang
ditempatkan di tempat yang asli. Ada
tiga macam jalan untuk melaksanakan
suatu novasi atau pembaharuan utang
yakni:
Apabila seorang yang berutang
membuat suatu perikatan utang baru
guna orang yang mengutangkannya,
yang menggantikan utang yang lama
yang dihapuskan karenanya. Novasi ini
disebut novasi objektif.
Apabila seorang berutang baru
ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh siberpiutang
dibebaskan dari perikatannya (ini
dinamakan novasi subjektif pasif).
Apabila sebagai akibat suatu
perjanjian baru, seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur
lama, terhadap siapa si berutang
dibebaskan dari perikatannya (novasi
subjektif aktif)
v Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan
utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d
Pasal 1435 BW. Yang dimaksud dengan
kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan
saling memperhitungkan utang yang
sudah dapat ditagih antara kreditur dan
debitur (vide: Pasal 1425 BW). Contoh:
A menyewakan rumah kepada si B
seharga RP 300.000 pertahun. B baru
membayar setengah tahun terhadap
rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan
tetapi pada bulan kedua A meminjam
uang kepada si B sebab ia butuh uang
untuk membayar SPP untuk anaknya
sebanyak Rp 150.000. maka yang
demikianlah antara si A dan si b terjadi
perjumpaan utang.
v Konfusio
Konfusio atau percampuran utang
diatur dalam Pasal 1436 BW s/d Pasal
1437 BW. Konfusio adalah
percampuran kedudukan sebagai orang
yang berutang dengan kedudukan
sebagai kreditur menjadi satu (vide:
Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam
suatu testamen ditunjuk sebagai waris
tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur
kawin dengan krediturnya dalam suatu
persatuan harta kawin.
Referensi:
https://
aramayudho.wordpress.com/2012/04/07
/dasar-hukum-perikatan/
http://
bobobpratiwi.blogspot.com/2013/04/
bab-4-azas-azas-hukum-perikatan.html
http://www.negarahukum.com/hukum/
hapusnya-perikatan.html
Langganan:
Postingan (Atom)