4.1 masalah
dumber daya alam struktur penguasaan dumber daya alam
Semboyan “Bhinneka
Tunggal Ika” secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas
kemajemukan atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya. Ketergantungan dan
tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati ini
dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara
gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam
komunitas- komunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan
antara 50 – 70 juta orang, maupun dalam komunitas-komunitas local lainnya yang
masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan
cara-cara kehidupan tradisional. Yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di
sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan
sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Batasan ini
mengacu pada “Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara” tahun
1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang
hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat,
yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya
yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan
kehidupanmasyarakat.
Sudah banyak studi yang
menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil
menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas bahwa
sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi
sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem
pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuh-
kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Kearifan tradisional ini,
misalnya, bias dilihat pada komunitas masyarakat adat yang hidup di ekosistem
rawa bagian selatan Pulau Kimaam di Kabupaten Merauke, Irian Jaya. Komunitas
adat ini berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi, atau lebih tinggi dari yang
ditemukan pada suku Dani di Palimo, Lembah Baliem,yang hanya 74 varietas ubi.
Di berbagai komunitas adat di Kepulauan Maluku dan sebagian besar di Irian Jaya
bagian utara dijumpai sistem-sistem pengaturan alokasi (tata guna) dan pengelolaan
terpadu ekosistem daratan dan laut yang khas setempat, lengkap dengan pranata
(kelembagaan) adat yang menjamin sistem- sistem lokal ini bekerja secara
efektif. Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal
dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh di
antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian besar Maluku yang
mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati
tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi
komunitas-komunitas adat “Orang Dayak” di Kalimantan berhasil mengatasi
permasalahan lahan yang tidak subur.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar